Renta






Tak pernah terfikirkan olehku sebelumnya, bahwa masa ini akan datang. Dimana aku telah kehilangan diriku yang dahulu. Tak lagi sama seperti dulu. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, selain tergeletak pasrah di atas ranjang. Tak mampu berbuat lebih dari itu. Semua kekuatanku hilang. Aku menjadi manusia yang lemah tak bertenaga dan tiada daya. Waktu yang berjalan lambat seolah-olah adalah penantian yang teramat panjang atas jawaban lelah diri ini; lelah pada semua yang kini harus kujalani. Ya, kematian itu terlalu lamban datang.
Aku menyesali doa-doa yang dahulu sering aku dan semua orang panjatkan untuk diriku, “Semoga Panjang umur, pak”. Ah, tidak. Aku tidak menginginkan umur panjang saat ini. Karena kini aku hidup dalam ketidak berartian; hidup hanya dalam kesia-siaan; menjadi beban semua orang. Kini aku mengutuk mereka dan diriku sendiri atas doa itu.
Namun aku  juga tak pernah sepenuhnya menyalahkan mereka. Karena kadang aku selalu saja tidak mengindahkan himbauan mereka  tentang racun-racun yang selama ini menjadi berhala dalam hidupku. Kebiasaan-kebiasaan buruk dan juga karena kemalasan, aku tak begitu perduli. Sampai saat rokok, minuman beralkohol, waktu istirahat yang berantakan, melahap makanan apapun demi kepuasan perutku, kemalasanku berolah raga itu pada akhirnya menggerogoti tubuhku dengan perlahan.
Betapa tersiksanya ketika sesak kurasakan, sakit di dada yang sering kali kambuh. Batuk yang tak pernah berkesudahan menghabiskan energiku yang tersisa sedikit, merampok udara yang sudah sulit aku gapai. Tubuhku yang kini kering krontang dengan kulit keriput yang menjuntai ke bawah tanpa daging. Hanya menjadi beban berat yang menempel pada tulang. Dan juga mata yang tak lagi bisa sempurna melihat.
 Betapa tersiksanya aku setiap saat hidup dengan semua mesin-mesin penopang kehidupan itu terpasang satu persatu dalam tubuh ini; jarum-jarum suntik yang selalu berganti tempat menembus kulit tubuh. Ah, semua ketololan hanya karena keegoisan diriku semata.
Oh, Tuhan. Betapa aku ingin bisa beranjak dari ranjang ini, keluar dari kamar ini. Beri aku keajaiban untuk sekedar bisa berjalan. Tak perlu kau anugerahi aku keajaiban untuk bisa berlari. Hanya berjalan, Tuhan. Hanya kemampuan untuk berjalan keluar dari kamar ini. Tanpa harus merasakan sakit di sekujur tubuhku dan disetiap persendianku. Tanpa harus menopang tubuh para suster perawat itu. Tanpa harus merasakan lelah dari setiap langkah yang aku buat. Hanya berjalan, Tuhan, hanya untuk bisa berjalan. Tapi keajaiban itu hanya ada pada masa-masa para Nabi dahulu. Tidak untuk masaku kini.
Ah, betapa tololnya aku. Waktu yang telah dulu ku sia-siakan, seolah hari ini tak pernah datang. Dan kesadaran diriku saat ini tiada guna, hanya sesal yang percuma. Seharusnya aku bisa melihat semua ini sejak dulu, ketika perubahan-perubahan itu terjadi dalam kehidupanku. Sebagaimana aku melihat perubahan pada anakku, dari seorang bayi yang dahulu hanya bisa menangis ketika lapar dan semua serba harus dilayani. Perubahan dari seorang bocah yang hanya tahu bermain dan bermain, lalu mulai jatuh cinta dan akhirnya menikah untuk membentuk keluarga sendiri. Oh, Tuhan. Seharusnya aku bisa melihat tanda-tanda akan datangnya hari ini. Mengapa aku begitu lalai untuk mengingat masa ini?
Kini aku yang kembali menjadi seorang bayi secara perlahan. Dari seseorang yang hidup berdampingan dengan  kekasih tercinta. kemudian sendiri ditinggal mati; mulai sulit untuk berjalan dan bernafas; mulai sulit untuk bisa berkata-kata; mulai banyak kehilangan ingatan; satu-persatu gigipun tanggal. Aku kini layaknya seorang bayi yang untuk bisa melakukan semua hal apapun harus dilayani; makan, minum, mandi dan buang air. Semua tak mampu kulakukan sendiri. Aku yang kini Layaknya seorang bayi.
Dulu aku begitu jijik dan segan ketika aku harus menggantikan popok anakku. Kini aku yang merasa jijik dengan diriku sendiri. Dan betapa malunya aku kepada mereka, ketika mereka membersihkan diriku dari kotoranku sendiri. Oh, Tuhan. Dunia telah terbalik sekarang. Semua serba terbalik keadaannya. Aku yang bodoh! Aku yang lupa!. Aku yang selalu menganggap, bahwa masa ini masihlah jauh. Tapi sesungguhnya dia begitu cepat berlari tanpa henti dan semakin mendekat.
Aku yang menjalani hidup hanya untuk bekerja, meraih kesenangan hidup. Seolah tak percaya bahwa semua masa ini akan tiba; Seolah berbatang-batang rokok itu adalah teman setia yang tidak akan pernah menghianati diriku sampai kapanpun. Demikian juga halnya dengan berbotol minuman beralkohol yang kutenggak.
Kemalasanku untuk sekedar olahraga; keengananku untuk menjaga makanan dan pola makan; ketidak disiplinanku akan waktu untuk mengistirahatkan tubuh. Semua yang dahulu aku anggap hal yang tak perlu; hal yang aku remehkan; hal yang aku abaikan; hal yang aku ketahui tapi aku tak perduli. Dan kini, semua itu hanya menjadi mimpi untuk bisa aku lakukan lagi saat ini.
Kemana kesadaran itu sebenarnya pergi? Aku tak tahu. Semua berlalu bergitu cepat dan meninggalkan sesal yang kini ada. Mengapa semua itu begitu berat untuk bisa aku lakukan dulu? Sedangkan apa yang harus kulakukan saat ini lebih berat dari yang dahulu bisa lakukan. Tak ada lagi keinginan dalam diri ini selain kematian yang cepat datang.
Dahulu tubuh ini tegap dan perkasa. Dahulu wajah ini penuh pesona dan rupawan. Semua akan kulakukan untuk bisa mengalahkan sang waktu. Tapi semua tetaplah percuma. Karena sang waktu tak pernah bisa dikalahkan oleh bermacam-macam operasi yang telah kulakukan. Kini sang waktu menggoreskan tanda disekujur tubuh ini dalam keriput. Aku tak lagi perkasa; aku hanya manusia yang lemah tak berguna; aku yang tak lagi rupawan; pesonaku hilang ditelan ketidakberdayaan diri mengurus diriku sendiri; aku adalah seorang pengemis yang setiap saat merongrong kocek anak-anakku. Hasil kerja seumur hidupku habis sudah, untuk membeli semua harga para dokter dan suster, mesin-mesin penopang hidupku, dan puluhan kali operasi yang harus kulakukan. Hanya agar aku bisa bernafas dan makan; hanya untuk bisa berjalan; hanya untuk bisa hidup menjadi manusia tak berguna.
Aku renta..aku hanya berharap cinta mereka masih ada. Aku mengerti ketidak hadiran mereka saat ini dicsisiku. Sebagaimana dahulu aku juga berharap mereka mengerti ketidak hadiranku dalam hidup mereka. Karena kewajibanku untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka, bekerja. Berhari-hari meninggalkan mereka dan jarang diriku bisa bercengkrama dengan mereka. Maka kini akupun mengerti ketidak hadiran mereka di sisiku saat ini.
Aku renta, harapanku menginginkan semua ini cepat berakhir. Kematian yang lamban ini, mungkin menjadi jalan penebusan semua dosa-dosa yang pernah kuperbuat. Terhapuskan sampai saat Malaikat Maut datang menjemput. Kematian yang jauh dari kesalahan masa laluku. Aku akan mencoba untuk menikmati penebusan dosa ini Meski aku letih


Posted by awank on 14.18. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0

Label

Awankening Personal blogs

.

dailyvid

FLICKR PHOTO STREAM

2010 BlogNews Magazine. All Rights Reserved. - Designed by SimplexDesign