Satu Sesal
Cerpen 14.11
Satu kesalahan, yang berlanjut dengan kesalahan yang lain. Dan kemudian akan aku bawa melewati hari-hari berikutnya dengan kesalahan-kesalahan yang baru. Ya, ini memang salahku. Semua salahku.
Kesalahan yang kulakukan ketika aku merasa bahwa Cinta itu indah. Keindahan yang membutakan mata, hati dan logika. Tapi kemudian dengan perlahan membunuhku, membuat diri ini merasa sebagai perempuan paling tolol sedunia; merasa paling hina dan tak berarti; melemparku ke dalam timbunan sampah manusia.
Tangis ibu. Aku masih ingat tangisan Ibu ketika aku ungkapkan semua kesalahanku kepadanya. Disusul dengan kemarahan Bapak. Kemarahan yang tiba-tiba saja membuat Bapak lepas kendali. Dan memberi tanda merah di pipi ini. Tak ada kata maaf kudapatkan. Tak termaafkan mungkin…
Kesalahan itu. Kesalahan yang membuat Ibu dan Bapak merasa sebagai orangtua yang gagal. Menghancurkan semua harapan, impian dan cita-cita mereka atas diriku. Menghanguskan semua kemesraan yang dulu kami miliki. Berganti dengan tangis Ibu dan diamnya Bapak memendam kecewa.
Pernah aku bersimpuh dalam hujan airmata. Ketika pertama kali aku menyadari apa yang harus kutanggung dari kesalahan itu. Bersimpuh dalam memohon ampunan dan maaf. Mengharap kesempatan baru dan juga keajaiban. Memohon waktu untuk bisa diputar kembali. Tapi ini adalah kesalahanku. Yang terjadi tetaplah terjadi. Tak ada jawaban yang kudapat saat itu dan sampai hari ini. Akhirnya kusadari, ini memang salahku…
Karena kesalahanku. Aku harus bersembunyi setiap saat. Tak mampu menegakan kepala setiap aku berjalan. Tak sanggup aku bertemu dengan wajah-wajah yang kukenal ataupun tidak kukenal. Setiap saat harus lari menghindar. Bahkan merasa, bahwa aku tak pantas lagi bersimpuh dan memohon ampunan Langit. Aku terhinakan karena kesalahanku. Menghinakan diriku sendiri di hadapan dunia.
Dalam kamar. Aku hanya diam dalam penantian waktu. Sedetik demi sedetik, semenit demi semenit. Lalu hari berganti minggu dan bulan. Lelahnya aku dalam penantian. Bosan kadang menghinggapi diriku. Temanku sepi, temanku penyesalan. Sahabatku ada bayang-bayang peristiwa.
Sesekali aku mengintip perubahan waktu dari jendela yang tertutup. Ketika matahari datang lalu pergi. Berganti senja dan malam. Sampai akhirnya sang matahari itu kembali lagi. Aku berharap waktu itu cepat berlalu. Sehingga aku mampu dan berani untuk menampakan wajahku lagi. Tapi semua berjalan begitu lamban dan aku terpuruk dalam kehampaan yang semakin hampa.
…
Kesalahan itu. Kesalahan yang kubuat ketika aku biarkan diriku terpesona oleh semua keindahan dan kebaikan dari seorang laki-laki. Keterpesonaan yang aku pikir itulah cinta yang aku cari. Aku pikir, dialah jawaban dan harapan diri tentang seorang kekasih. Lalu membiarkan diriku terbuai dalam semua bujuk rayunya.
Kesalahan yang kubuat. Ketika aku biarkan dia datang menghampiri diriku dengan senyuman termanis; terlena oleh tawanya yang ceria; terbuai sorot matanya yang tajam; hanyut dalam semua kisah dan cerita hidupnya; percaya sepenuhnya pada lelaki itu; merasa senang dengan semua rayuannya.
Sehingga aku membiarkan tangan itu menggenggam jari tanganku, mengecupnya mesra; mengecup kening ini; mencium bibir ini; menjilat telinga ini dan seluruh tubuhku. Aku hanya diam membiarkan tangannya menjelajahi seluruh tubuh ini; merebahkan tubuhku di ranjang; hilang dalam nikmat yang sesaat; melepas kesadaran itu begitu saja. Dan pada akhir ketika semua kenikmatan itu tercapai, aku baru menyadari bahwa aku telah kehilangan banyak dari milikku yang paling berharga. Itu kesalahanku…
…..